Jumat, 20 September 2013
NYANYIAN LUKA
NYANYIAN LUKA
Kupijakkan kakiku di bumi ini. Kukerahkan segenap kekuatan untuk menahan beban tubuhmu yang terlalu berat bagiku. Namun, kau terus menindihku, menenggelamkan aku ke dalam perut bumi sedalam-dalamnya di tempat yang terdalam. Sampai akhirnya lahar panas memuntahkanku lewat gempa yang kau sebut vulkanik.
Kau jadikan aku sebagai persembahan pada iblis-iblis penunggu gunung dengan alasan mencegah musim paceklit yang dihadapi. Namun, hati kecilku merasa bahwa kau hanya mengorbankan aku, sebagai tumbal agar kau semakin kuat, kebal, bebal, dan abadi. Tapi, kembali aku tak mampu berbuat apa-apa. Detak jantungku yang sangat cepat sebagai bukti bahwa ketakutan yang besar melanda diriku.
Kau copot jantungku. Kau sate. Kau melemparkan pada kawah yang mengepul asap putih di atasnya. “Sakit,..!” jeritku. Kau tak bergeming. Senyum sinis. Senyum puas. Senyum keserakahan. Di setiap senyummu adalah api yang akan melalap habis apa saja. Panas kawah pun takut dengan hawa panas pada senyummu. “Brengsek!” Teriakku. Membahana. Mengusik raja hutan yang sedang tertidur. Menggelitik saluran pernapasanmu, hingga kau akan merasa mual dan akhirnya muntah.
Kau robek mulutku. Kau cincang. Kau iris-iris sampai aku tak mampu berkata ini a, ini b. Aku terbungkam. Kau jepit mulutku. Kau gantung. Kau masak. Ingin rasanya berteriak. Namun, aku sudah tak punya mulut lagi. Hanya air mata yang tumpah ruah. Berharap dapat mendinginkan kawah panas. Lalu mataku melototimu, tajam.
Kau cungkil mataku. Kau pisahkan dengan retinanya. Kau pelototi. Besi panas kau pakai untuk melobangi mataku. Hitam putih mataku menyatu. Aku menangis darah, “yah, menangis! Menangis darah.” Telingaku sendiri yang mendengarnya dan menjadi saksi.
Kau potong telingaku. Kau kuliti. Kau kupas hingga yang tampak tinggal tulang-tulang rawannya saja. Kau lemparkan telingaku pada Singa lapar yang terusik. Jeritan hatiku tak terdengar lagi. “Uss!, jeritanku masih terdengar, ya...., masih terdengar...., masih terngiang di kepalaku.” Alhamdulillah kepalaku masih mendengarnya.
Kau potong kepalaku. Kau cabuti rambutnya. Kau belah dua, empat, enam, ... sampai kelipatan tak berhingga. Kepalaku kau bubur buat anjing-anjing yang kelaparan karena dari pagi sampai malam menjilati sepatumu. Tiba-tiba tanganku refleks menamparmu.
Kau tarik kedua lenganku hingga terlepas dari pinggang. Kreeg,.!. Lenganku terjungkal-jungkal. Jatuh ke kawah. Tinggal tulang-tulangnya yang menyembul. Kakiku refleks menendang kau.
Kau tarik kedua kakiku. Dan hasilnya, kakiku terputus hingga di bibir kemaluanku. Tinggallah payudaraku yang masih mengental. Lalu kau menatapnya penuh nafsu, lalu kau melumatnya hingga habis. Selanjutnya vaginaku kau preteli. Kau perkosa aku dalam puing. Kau perkosa aku dalam bangkai. Diakhir, kau hantam vaginaku dengan rudal. Meledak. Hancur. Aku kira kau sudah puas. Tapi, belum,.. sama sekali belum,.. senyummu jahanam. Kau tertawa. “Ini baru permulaan dari sebuah pengembaraan NAFSU....”
Langganan:
Posting Komentar (RSS)


0 comments:
Segera tuliskan komentar Anda mumpung masih kosong dan jadilah yang pertamax. Di sinilah tempat Anda untuk menuliskan curahan hati atas tulisan saya di atas baik berupa apresiasi, saran, kritikan, atau pertanyaan jika memang kurang jelas atau tambahan jika memang kurang lengkap.
Komentar Anda sangat MEDIA FIKSI butuhkan untuk pengembangan kualitas blog MEDIA FIKSI ini ke depan. Mari terus belajar dan berbagi karena belajar dan berbagi itu indah. Terima Kasih.
Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai tema tulisan. Gunakan Name/URL untuk memudahkan saya merespon komentar Anda.