KAKANDA, ASDAR MUIS RMS
Hidup akan bahagia bila kita mampu menikmati segala ciptaan Ilahi
terhadap diri kita, dan dapat menerima kekurangan sebagai kekuatan untuk melakoni hidup tanpa mengeluh!
---Asdar Muis RMS---
Di sebuah warkop, di kotaku, saya
mendengar berita mengejutkan. Di media sosial, teman-teman menulis distatus
tentang berita duka.
Allahumma Salli Ala Muhammad Wa Ali Muhammad.
Alhamdulillahi Rabbil Alamin. Arrahmaanirrahim. Maaliki Yaumiddin. Iyyaakana’budu
Wa Iyyaakanastain. Ihdinassiraatal Mustakim. Siraatallasina An-amta Alaihim,
Gairil Ma’dubi Alaihim Wa Laddallin. Amin!
Seorang kawan
yang duduk di depanku bertanya, “Kenapa?”
“Beliau telah
wafat,” Kataku.
“Kamu
mengenalnya?” Katanya.
“Saya mengenalnya
melalui karya-karyanya.” Kataku.
Lalu saya
seperti berbicara sendiri, dan temanku hanya mendengarkan. Tahukah kawan ini,
bagaimana kakanda Asdar Muis menyikapi kematian? Tahukah kawan ini, bagaimana kakanda
menempatkan senior-seniornya? Tahukah kawan ini, apa yang paling ditakutkan
oleh kakanda? Dan apakah yang diinginkan kakanda saat kehidupan pamit padanya?
Saya memahami
dan mengetahui jawaban-jawaban itu melalui karya-karya kakanda Asdar Muis yang
sempat saya baca. Dengan ini pula, saya menempatkan diri sebagai seorang
pembaca yang mencoba untuk berkomentar mengenai beliau, tentunya sebatas apa
yang mesti saya ungkap saja.
Sekali lagi,
saya seorang pembaca. Diam-diam saya menyukainya. Buku kumpulan essay yang
beliau tulis—tuhan masih pidato—saya baca dengan tuntas. Tak hanya saya seorang
yang diam-diam menyukainya, sangat banyak. Inilah mungkin yang menjadi alasan
Tuhan, sehingga DIA mengambilnya juga secara diam-diam. “Untuk kakanda Asdar
Muis RMS! Semoga kedamaian dan keselamatan menyertaimu! Amin.”
‘Orang Tua Tak
Pernah Tua’ di dalam tulisannya, kakanda begitu kagum dengan seorang lelaki
tua, Prof. Andi Muis. Alasan kekaguman kakanda Asdar Muis: karena diusia 76
tahun, Prof. Andi Muis selalu saja menemukan hal-hal baru sebagai ide dari
berkarya, juga gairah hidupnya yang tidak pernah padam, dan berhenti berkarya
adalah akhir dari kehidupan baginya.
Dan saya
mengagumi kakanda Asdar Muis, dengan alasan sebagaimana kakanda mengagumi prof.
Andi Muis. Dari semua karya-karya kakanda yang sempat saya baca, maka bagiku, nama
kakanda adalah termasuk dalam deretan nama teratas yang mesti menjadi rujukan
bagi generasi yang ingin memelihara gairah perlawanannya atas dehumanisasi. Saya sangat iri kepada
kakanda, yang senantiasa terjaga atas gejolak sosial baik secara horizontal, maupun secara vertikal.
Kakanda juga
pernah menulis: ‘Kematian Itu Indah’. Saya kutip bagian terakhir dari tulisan
itu: KEMATIAN itu indah! Istri saya
berbisik sambil matanya berderai air bening. Ia masih sedih ditinggal pergi
oleh ibunya yang tak pernah menganggapnya anak mantu, tapi anak yang seperti
lahir dari rahim ibu saya sendiri.
Benarkah mati indah?
“Saya yakin!”
*
Di dalam
tulisannya yang lain, kakanda Asdar Muis pernah ditanya oleh istrinya tentang
hal yang paling kakanda takuti. Jawaban kakanda saat itu, “Saya hanya takut
kehilangan kata,”. Namun di sisi lain, kakanda menyadari bahwa terkadang kita
berada pada dua pilihan yang sulit: istri atau kata.
Apa yang
sesungguhnya diinginkan oleh kakanda Asdar Muis ketika bercerita tentang
kematian? Jawabnya “in memoriam”. Sebagaimana dalam tulisan kakanda Asdar Muis,
‘Husni Djamaluddin tak Pernah Mati’. Kakanda menuliskan percakapannya dengan
penyair Udhin Palisuri melalui pesan singkat HP.
Kakanda Udhin Palisuri, “Dinda terus
menggeliat dalam napas manusiawi.”
“Terima kasih kakanda tercintaku. Kuharap
kelak ada buku tentang saya dari teman-teman seperti buku pak Husni. Duh, kok
aku merindukan kematian yang riuh.”
Kakanda Udhin Palisuri, “Dinda telah
memahatkan usia untuk berarti dan takkan pernah mati dalam matimu.”
Sebagai seorang
pembaca karya-karya kakanda, kabar duka itu menghantam dadaku, kurasakan ada
perih di jiwaku, tepat pada sisi yang tak begitu saya pahami. Bagiku: Kakanda
tetap hidup dalam berlembar-lembar kata yang telah kakanda dedikasikan kepada
kami. Terima kasih kakanda!
Walau dari awal
saya memperkenalkan diri sebagai pembaca dari karya-karya kakanda, tapi saya
juga pernah beberapa kali menyaksikan langsung kakanda di atas panggung.
Rasanya ingin sekali menyapa kakanda, namun selalu saja tidak pernah
terlaksana. Saya pernah berbicara langsung dengan kakanda, tapi hanya melalui
telpon. Saat itu, saya sedang mencari buku kakanda yang berjudul: Tuhan Masih
Pidato.
*
Catatan bagi pribadi saya saat
membaca karya-karya kakanda Asdar Muis: kakanda mengajarkan bahwa kehidupan ini mengajarkan manusia untuk
banyak merenung, mencoba memaknai
kegilaan-kegilaan yang hadir dalam jurang-jurang jiwa.
Belajar berlaku arif pada setiap pemikiran yang terkadang pemikiran-pemikiran
itu saling menipu satu sama lain. Dan pada dimensi yang jauh, kita sadar
sedang berkelahi dengan kehancuran masing-masing. “Kenanganku! Ataukah cinta tak
terbahasakan?” Saya menganggap ini kekeliruan yang halus. Dan cinta mengajarkan
arti ketiadaan saat kita kehilangan.
Saya
mengingatkan diri-sendiri agar jangan
pernah mengatakan, “Ini hanya kenangan biasa, ibarat balon-balon sabun meletus
tak berbekas saat matahari dan angin menggerogoki bulatnya yang payah.” Tak
bisa dinafikan, ada banyak
warna dalam bulatan kenangan saat diperhadapkan pada kengerian hidup. Walau, saya telah terlambat, sangat terlambat malah, menyadari
kebersamaan hidup yang ditinggalkan oleh waktu dan kebersamaan itu menjadi kenangan pada dimensi
ruang dan waktu yang terus bergerak.
Dan akhirnya aku memahami bahwa kenangan tentunya menjadi ‘luka’ saat kita mencoba berdamai dengan kenangan itu sendiri. Dan ‘luka’ itu akan terus tumbuh dan hidup, karena kenangan
akan tetap hidup, belum ada teknologi di dunia ini mampu membawa manusia pada masa lalu untuk membunuh kenangan.
Kakanda! Engkau
telah menanam banyak kenangan melalui karya, khususnya pada saya, sebagai
seorang yang senang membaca karya-karya kakanda. Kakanda hidup di sini—tepat
dijantung pengetahuanku tentang budaya, sastra, dan kebijaksanaan hidup. Wassalam! Allahumma Salli Ala Muhammad Wa
Ali Muhammad.
Biodata: Ramli Palammai, Tinggal
di Bulukumba, menulis novel ‘aku di sebuah novel’ berprofesi sebagai guru
matematika di salah satu sekolah negeri di Bulukumba.
0 comments:
Segera tuliskan komentar Anda mumpung masih kosong dan jadilah yang pertamax. Di sinilah tempat Anda untuk menuliskan curahan hati atas tulisan saya di atas baik berupa apresiasi, saran, kritikan, atau pertanyaan jika memang kurang jelas atau tambahan jika memang kurang lengkap.
Komentar Anda sangat MEDIA FIKSI butuhkan untuk pengembangan kualitas blog MEDIA FIKSI ini ke depan. Mari terus belajar dan berbagi karena belajar dan berbagi itu indah. Terima Kasih.
Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai tema tulisan. Gunakan Name/URL untuk memudahkan saya merespon komentar Anda.