Hanya orang yang berani bermain dan menari bersama ombak yang tidak akan terhempas pada batu karang, tapi sebaliknya, akan mencumbui batu karang, akan datang bersama hempasan ombak, akan melumat bibir pantai, dan ia bergumam, "Betapa nikmat dan asinnya garam kehidupan!"

Jumat, 02 Januari 2015

KAKANDA, ASDAR MUIS RMS



KAKANDA, ASDAR MUIS RMS

Hidup akan bahagia bila kita mampu menikmati segala ciptaan Ilahi terhadap diri kita, dan dapat menerima kekurangan sebagai kekuatan untuk  melakoni hidup tanpa mengeluh!
---Asdar Muis RMS---

Di sebuah warkop, di kotaku, saya mendengar berita mengejutkan. Di media sosial, teman-teman menulis distatus tentang berita duka.
“Kakanda Asdar Muis!” Kataku lesu.
Allahumma Salli Ala Muhammad Wa Ali Muhammad.
Alhamdulillahi Rabbil Alamin. Arrahmaanirrahim. Maaliki Yaumiddin. Iyyaakana’budu Wa Iyyaakanastain. Ihdinassiraatal Mustakim. Siraatallasina An-amta Alaihim, Gairil Ma’dubi Alaihim Wa Laddallin. Amin!
Seorang kawan yang duduk di depanku bertanya, “Kenapa?”
“Beliau telah wafat,” Kataku.
“Kamu mengenalnya?” Katanya.
“Saya mengenalnya melalui karya-karyanya.” Kataku.
Lalu saya seperti berbicara sendiri, dan temanku hanya mendengarkan. Tahukah kawan ini, bagaimana kakanda Asdar Muis menyikapi kematian? Tahukah kawan ini, bagaimana kakanda menempatkan senior-seniornya? Tahukah kawan ini, apa yang paling ditakutkan oleh kakanda? Dan apakah yang diinginkan kakanda saat kehidupan pamit padanya?
Saya memahami dan mengetahui jawaban-jawaban itu melalui karya-karya kakanda Asdar Muis yang sempat saya baca. Dengan ini pula, saya menempatkan diri sebagai seorang pembaca yang mencoba untuk berkomentar mengenai beliau, tentunya sebatas apa yang mesti saya ungkap saja.
Sekali lagi, saya seorang pembaca. Diam-diam saya menyukainya. Buku kumpulan essay yang beliau tulis—tuhan masih pidato—saya baca dengan tuntas. Tak hanya saya seorang yang diam-diam menyukainya, sangat banyak. Inilah mungkin yang menjadi alasan Tuhan, sehingga DIA mengambilnya juga secara diam-diam. “Untuk kakanda Asdar Muis RMS! Semoga kedamaian dan keselamatan menyertaimu! Amin.”
‘Orang Tua Tak Pernah Tua’ di dalam tulisannya, kakanda begitu kagum dengan seorang lelaki tua, Prof. Andi Muis. Alasan kekaguman kakanda Asdar Muis: karena diusia 76 tahun, Prof. Andi Muis selalu saja menemukan hal-hal baru sebagai ide dari berkarya, juga gairah hidupnya yang tidak pernah padam, dan berhenti berkarya adalah akhir dari kehidupan baginya.
Dan saya mengagumi kakanda Asdar Muis, dengan alasan sebagaimana kakanda mengagumi prof. Andi Muis. Dari semua karya-karya kakanda yang sempat saya baca, maka bagiku, nama kakanda adalah termasuk dalam deretan nama teratas yang mesti menjadi rujukan bagi generasi yang ingin memelihara gairah perlawanannya atas dehumanisasi. Saya sangat iri kepada kakanda, yang senantiasa terjaga atas gejolak sosial baik secara horizontal, maupun secara vertikal.
Kakanda juga pernah menulis: ‘Kematian Itu Indah’. Saya kutip bagian terakhir dari tulisan itu: KEMATIAN itu indah! Istri saya berbisik sambil matanya berderai air bening. Ia masih sedih ditinggal pergi oleh ibunya yang tak pernah menganggapnya anak mantu, tapi anak yang seperti lahir dari rahim ibu saya sendiri.
Benarkah mati indah?
“Saya yakin!”
*
Di dalam tulisannya yang lain, kakanda Asdar Muis pernah ditanya oleh istrinya tentang hal yang paling kakanda takuti. Jawaban kakanda saat itu, “Saya hanya takut kehilangan kata,”. Namun di sisi lain, kakanda menyadari bahwa terkadang kita berada pada dua pilihan yang sulit: istri atau kata.
Apa yang sesungguhnya diinginkan oleh kakanda Asdar Muis ketika bercerita tentang kematian? Jawabnya “in memoriam”. Sebagaimana dalam tulisan kakanda Asdar Muis, ‘Husni Djamaluddin tak Pernah Mati’. Kakanda menuliskan percakapannya dengan penyair Udhin Palisuri melalui pesan singkat HP.
Kakanda Udhin Palisuri, “Dinda terus menggeliat dalam napas manusiawi.”
“Terima kasih kakanda tercintaku. Kuharap kelak ada buku tentang saya dari teman-teman seperti buku pak Husni. Duh, kok aku merindukan kematian yang riuh.”
 Kakanda Udhin Palisuri, “Dinda telah memahatkan usia untuk berarti dan takkan pernah mati dalam matimu.”
Sebagai seorang pembaca karya-karya kakanda, kabar duka itu menghantam dadaku, kurasakan ada perih di jiwaku, tepat pada sisi yang tak begitu saya pahami. Bagiku: Kakanda tetap hidup dalam berlembar-lembar kata yang telah kakanda dedikasikan kepada kami. Terima kasih kakanda!
Walau dari awal saya memperkenalkan diri sebagai pembaca dari karya-karya kakanda, tapi saya juga pernah beberapa kali menyaksikan langsung kakanda di atas panggung. Rasanya ingin sekali menyapa kakanda, namun selalu saja tidak pernah terlaksana. Saya pernah berbicara langsung dengan kakanda, tapi hanya melalui telpon. Saat itu, saya sedang mencari buku kakanda yang berjudul: Tuhan Masih Pidato.
*
Catatan bagi pribadi saya saat membaca karya-karya kakanda Asdar Muis: kakanda mengajarkan bahwa kehidupan ini mengajarkan manusia untuk banyak merenung, mencoba memaknai kegilaan-kegilaan yang hadir dalam jurang-jurang jiwa. Belajar berlaku arif pada setiap pemikiran yang terkadang pemikiran-pemikiran itu saling menipu satu sama lain. Dan pada dimensi yang jauh, kita sadar sedang berkelahi dengan kehancuran masing-masing. “Kenanganku! Ataukah cinta tak terbahasakan?” Saya menganggap ini kekeliruan yang halus. Dan cinta mengajarkan arti ketiadaan saat kita kehilangan.
Saya mengingatkan diri-sendiri agar jangan pernah mengatakan, “Ini hanya kenangan biasa, ibarat balon-balon sabun meletus tak berbekas saat matahari dan angin menggerogoki bulatnya yang payah.” Tak bisa dinafikan, ada banyak warna dalam bulatan kenangan saat diperhadapkan pada kengerian hidup. Walau, saya telah terlambat, sangat terlambat malah, menyadari kebersamaan hidup yang ditinggalkan oleh waktu dan kebersamaan itu menjadi kenangan pada dimensi ruang dan waktu yang terus bergerak.
Dan akhirnya aku memahami bahwa kenangan tentunya menjadi luka saat kita mencoba berdamai dengan kenangan itu sendiri. Dan luka itu akan terus tumbuh dan hidup, karena kenangan akan tetap hidup, belum ada teknologi di dunia ini mampu membawa manusia pada masa lalu untuk membunuh kenangan.
Kakanda! Engkau telah menanam banyak kenangan melalui karya, khususnya pada saya, sebagai seorang yang senang membaca karya-karya kakanda. Kakanda hidup di sini—tepat dijantung pengetahuanku tentang budaya, sastra, dan kebijaksanaan hidup. Wassalam! Allahumma Salli Ala Muhammad Wa Ali Muhammad.

Biodata: Ramli Palammai, Tinggal di Bulukumba, menulis novel ‘aku di sebuah novel’ berprofesi sebagai guru matematika di salah satu sekolah negeri di Bulukumba.


Silahkan Baca juga Postingan berikut:

0 comments:

Mau jadi pertamax?

Segera tuliskan komentar Anda mumpung masih kosong dan jadilah yang pertamax. Di sinilah tempat Anda untuk menuliskan curahan hati atas tulisan saya di atas baik berupa apresiasi, saran, kritikan, atau pertanyaan jika memang kurang jelas atau tambahan jika memang kurang lengkap.

Komentar Anda sangat MEDIA FIKSI butuhkan untuk pengembangan kualitas blog MEDIA FIKSI ini ke depan. Mari terus belajar dan berbagi karena belajar dan berbagi itu indah. Terima Kasih.

Silahkan Berkomentar

Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai tema tulisan. Gunakan Name/URL untuk memudahkan saya merespon komentar Anda.

KOMENTAR

TULISAN TERBARU