“Aku tunggu kau di warung makan—Coto Dewi.” Begitulah isi sms terakhir yang aku kirim kepadamu, sebelum kau datang dengan wajah yang sedikit berkeringat di belakang sebuah mobil inova yang terparkir. Lambaian tangan kiri tepat tertuju kepadamu. Aku memberimu senyum, seperti malam itu, saat kedatanganmu yang pertama kali. Tapi, aku sudah lupa wajahmu malam itu, karena kau muncul hari itu dengan jilbab yang terbalut indah di kepala.
Itulah pertemuan kita yang kedua.
“Silahkan masuk.” Begitulah aku menawari kau sebagai tamuku.
Senyum indah, menjadi jawabanmu dan mengambil tempat duduk di dekatku. Kau tak makan saat itu. Kenyang, katamu padaku.
Singkat cerita, kita meninggalkan warung makan. Aku yang memboncengmu. Aroma tubuh yang terbawa oleh angin begitu jelas akan sebuah kehangatan. Aku mengira itu aroma tubuhmu atau mungkin aroma tubuh-tubuh yang terbakar oleh panasnya matahari. Sit-sat, kiri dan kanan, motor berpacu, lurus beberapa kilo dan kemudian belok kanan. Tak jauh dari tempat itu, kita berhenti. Pagar hijau yang kokoh, kuat, aku buka, bunyi derit pun menjadi melodi saat itu.
“Silahkan masuk.” Kali itu kau kembali menjadi tamuku.
Kembali senyum indah itu menjadi jawabannya.
Ingat kan! rumah waktu itu sangat sunyi, tak satu orang pun yang ada.
Menenteng tanganmu ke dalam, menyandarkan tubuhmu di tembok. Mendesakkan tubuhku menindih tubuhmu. Lalu dagumu terangkat dan seketika pun menciumimu, dan mencumbui bibirmu. Setelah itu menggoda birahimu dan kita pun terhempas dalam kepuasan. Bila aku nekat dan memaksakan kemauan setan yang biasa menguasai siapa pun, itu bisa terjadi, tapi aku lebih memilih kita berdua duduk di teras dengan jarak tempat duduk kita yang berjauhan, dan aku memperingatimu agar berhati-hati.
“Awas! Tidak ada orang di rumah. Aku sangat jahat lho.” Begitulah kataku sebelum kita berbicara panjang lebar.
Sadarkah, apa yang kita bicarakan saat itu sudah kita bicarakan pada pertemuan pertama di rumah, malam itu, dan pada pertemuan kedua kita, di warung coto. Aku yakin kamu tak menyadarinya, karena raut wajahmu kembali serius, dan lucu. Sungguh, aku sangat ingin tertawa terbahak-bahak, hanya saja aku sadar kamu itu adalah tamuku.
“Gimana, kalau aku jemput dulu kawan saya?” saran itu kau ucapkan.
“Tak usah. Belum ada kunci.”
Kau mengerti.
Aku kembali bercerita banyak. Sampai akhirnya matahari yang tadinya menjulang tinggi dengan sinarnya yang terang mulai tergelincir di kaki bukit sebelah barat. Kau pun minta pamit, dan seketika aku kembali kesepian, menyendiri di dalam kamar. Tak tahu harus kerja apa. Aku mau menangis.
bersambung! ***
Jumat, 09 September 2011
Catatan Harian Di Lembar 2
Langganan:
Posting Komentar (RSS)

1 comments:
wah, persis sama dengan Catatan Harian Lembar 2 yang ada di akun Facebook Bung Ramli Palammai, lanjut deh ke Catatan Harian Lembar 1
Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai tema tulisan. Gunakan Name/URL untuk memudahkan saya merespon komentar Anda.