“Cerita ini adalah tentang cinta om Ramli kan!” begitulah kata seorang ponakan yang sedang membaca buku catatanku di ruang tamu. Aku tertawa-tawa mendengarnya. Namun, tawa itu seketika tercekit, mulut menganga bercampur raut wajah yang tercengang-cengang oleh kehadiranmu di ambang pintu secara tiba-tiba. Pertemuan kita semalam, tidak diakhiri dengana janji untuk bertemu lagi. Tapi, sangat jujur aku menyukai kehadiranmu di rumah siang itu. Lalu bagaimana rona merah di wajahmu saat ponakanku yang cerewek tersenyum-senyum sambil ber-dehem-dehem.
Uhhhh! Rona dan senyummu yang manis itu menghadirkan getar-getar yang aneh di hati, dan tahukah, ruang tamu seolah dipenuhi bunga-bunga yang harum. Kita berbasa-basi secara luas, padahal kamu hanya mengucapkan terima kasih, tapi kenapa aku menjadi terlalu jauh mengajakmu bercerita. Kalau kamu ingin tahu jawabannya: Aku tidak ingin kamu beranjak dari tempat dudukmu, meninggalkanku sendiri, seolah menyunggingkan senyum terakhir saat kedua kakimu melewati daun pintu.
“Setelah ini, kamu kemana?” tanyaku padamu.
“Tokoh buku.” Jawabmu.
Dan tebaklah bahwa aku adalah lelaki yang piawai mengambil hati seorang gadis, “Baiklah! Mari kita berangkat!”
Aku sangat tahu kebingungan di raut wajah itu, karena kamu tidak pernah menawariku. Tapi tak usahlah kita membicarakan itu Senja.
Di perpustakaan kita melongo kemana-mana memperhatikan buku-buku yang tampak dengan aurahnya sendiri di atas rak. Aku membelikanmu pembatas buku yang cantik. Kamu terseyum menerimanya. Senyum yang sangat manis. Berkali-kali bahu kita bersinggungan saat sedang serius dan asyik-asyiknya membaca synopsis buku. Tapi, aku ini lelaki normal, aku tak serius membaca, aku sengaja mendempekkan bahuku di bahumu,.. hehehehehehe!
Aku tertawa, kamu pun demikian, kita sama-sama tertawa. Tapi, begitulah tawa yang tak seorang pun mengetahui kapan sisi lain dari tawa itu akan menghampiri kita. Dan kita mengetahuinya saat beberapa jam kemudian, beberapa jam setelah pengakuanmu yang aneh kepadaku, “Apakah kamu mencintaiku?” tanyamu padaku.
Artikanlah sendiri, bahwa pertanyaan itu seperti mantra-mantra yang menyusup ke dalam hati, menghadirkan dingin yang sejuk. Semua yang ada di sekitarku menciuk, mengecil dan menghilang,, berganti dengan langit-langit yang temaran dan hanya kita berdua. Sungguh, yang serasa tidak ada, hanya kita berdua, “Sayang dunia ini milik kita berdua.” Kataku dalam hati. Dan apa yang terjadi setelah kesadaran kembali padaku, aku grogi, kamu demikian. Aku tahu kamu hanya ingin mengalihkan pembicaraan dengan pura-pura minta izin untuk ke kamar kecil.
Tuhan Maha Tahu, kepura-puraan itu menghadirkan kegelisahan, sudah 15 menit lebih aku menunggu di depan sebuah toko, kau tak kunjung muncul dari pintu WC yang memanjang. Aku menjadi sangat khawatir sudah 25 menit kamu masih belum muncul. Dan bagaimana hati berantakan saat aku mencarimu ke dalam kamar-kamar WC yang berjajar. Tak kutemukan kamu. Aku bingung, bolak-balik aku dari ujung kamar yang satu ke kamar yang lainnya. Hanya satu petunjuk yang aku dapat darimu, sebuah pembatas buku tergeletak lemah di depan salah satu kamar WC. Itu pembatas buku yang aku belikan untukmu, di balik pembatas buku itu terdapat dua kata yang sangat menyedihkan: TOLONG AKU!
Wajahku menengadah ke langit-langit kamar WC.
Bersambung! ***
Sabtu, 24 September 2011
Catatan Harian Lembar 5
Langganan:
Posting Komentar (RSS)

2 comments:
wah, persis sama dengan Catatan Harian Lembar 6 yang ada di akun Facebook Bung Ramli Palammai, lanjut deh ke Catatan Harian Lembar 4
wah, persis sama dengan Catatan Harian Lembar 5 yang ada di akun Facebook Bung Ramli Palammai, lanjut deh ke Catatan Harian Lembar 4
Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai tema tulisan. Gunakan Name/URL untuk memudahkan saya merespon komentar Anda.