Hanya orang yang berani bermain dan menari bersama ombak yang tidak akan terhempas pada batu karang, tapi sebaliknya, akan mencumbui batu karang, akan datang bersama hempasan ombak, akan melumat bibir pantai, dan ia bergumam, "Betapa nikmat dan asinnya garam kehidupan!"

Minggu, 18 September 2011

GAIRAH MENULIS KEHILANGAN IKLIMNYA

Saat kita diperhadapkan pada pertanyaan tentang rendahnya minat anak muda dalam menulis sastra, maka akan sangat banyak kemungkinan-kemungkinan jawabannya. Tentunya, akan banyak kalangan merasa tersindir, tersinggung malah. Termasuk akan menggelitik pengetahuan kita yang telah mematikan iklim dalam sastra.


Penglihatan intelektual kita secara sederhana akan menterjemahkan sebuah bangsa pada hubungannya dengan konteks yang kita inginkan. Kebangkitan budaya termasuk bersastra, membaca dan menulis sangat bergantung pada iklim yang dibentuk oleh penguasanya. Semisal sebuah pernyataan ilmiah dari Prof. Dr. Mutjawi Sawi Lari: di setiap bangsa, buah pikiran kaum terpelajar dan gaya hidup para pemimpinnya adalah pembentuk keyakinan masyarakat dan pemikiran setiap orang. Jika golongan penguasa sebagai wakil rakyat dan pembimbing masyarakat mengajarkan ‘kecabulan’, lantas apa yang diharapkan dari golongan orang-orang yang lebih rendah darinya? Jika garam telah kehilangan rasanya, lantas apa yang akan memberikan rasa pada masyarakatnya?

Persoalan minat anak muda menulis akan sangat cepat kita ketahui dengan membenturkan dengan pertanyaan: Sejauh mana menulis menjadi penting dalam kesadaran pemuda? Sejauh mana penulis mendapat tempat di mata masyarakat? Dan sejauh mana negara ikut andil dalam menciptakan iklim kepenulisan, terkhusus di Indonesia?
Kesemua pertanyaan ini dapat terjawab sekaligus bahwa: belum sempat terpikirkan dengan serius, kalau terlalu jelek disebut tidak mendapat tempat. Lalu adakah kita masih menutup mata dengan mengambil kesimpulan: “Ini adalah buah kemalasan pemuda yang terjebak dalam kebodohan-kebodohan yang ia ciptakan sendiri.” Dan terlalu berlebihan kita meng-kambing hitam-kan anak muda jika demikian adanya.

Lembaga pendidikan formal seharusnya menjadi tiang dalam menciptakan iklim kepenulisan dengan baik. namun, lagi-lagi kita menemukan kekecewaan yang teramat sangat dengan kenyataan rendahnya kemampuan membaca dan menulis dari guru-guru bahasa Indonesia. Lembaga pengawas pendidikan hanya akan mengangkat jempol saat guru-guru terlihat sibuk dengan pembuatan bahan pelajaran, lembaran evaluasi siswa, ikut banyak pelatihan, les tambahan, dan trik-trik untuk mendapatkan nilai bagus kalau tidak mau nama sekolah mereka rusak gara-gara banyak siswanya tidak lulus UN.

Kegiatan kepenulisan sangat ditunjang oleh minat baca seseorang. Taufiq Ismail mengatakan bahwa generasi kita sekarang "lumpuh" menulis. Menurut Taufiq Ismail, kelumpuhan ini sebagai akibat dari "rabun" membaca. Tentu tidak dapat disangkal antara aktivitas membaca dan menulis ada hubungan yang signifikan. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan hingga terjadi kelumpuhan dalam baca-tulis di kalangan generasi muda kita?

Salah satu diantara banyak jawabannya adalah distribusi buku-buku melalui toko-toko buku hanya ditemukan di kota-kota besar, itu pun dalam jumlah yang sangat terbatas. Sementara kita memahami baik bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kemampuan membaca anak-anak tergolong rendah yaitu sarana dan prasarana pendidikan khususnya perpustakaan dengan buku-bukunya belum mendapat prioritas dalam penyelenggaraannya. Sedangkan kegiatan membaca membutuhkan adanya buku-buku yang cukup dan bermutu serta eksistensi perpustakaan dalam menunjang proses pembelajaran.

Faktor lain yang menghambat kegiatan anak-anak untuk mau membaca adalah kurikulum yang tidak secara tegas mencantumkan kegiatan membaca dalam suatu bahan kajian, serta para tenaga kependidikan baik sebagai guru, dosen maupun para pustakawan yang tidak memberikan motivasi pada anak-anak peserta didik bahwa membaca itu penting untuk menambah ilmu pengetahuan, melatih berfikir kritis, menganalisis persoalan, dan sebagainya.

Coba kita melirik negara-negara maju seperti Jepan, Korea, Cina, Amerika, Jerman, dan masih banyak yang lain. Negara-negara ini menganggap bahwa kemampuan membaca dan menulis adalah sesuatu yang sangat menentukan. Karena membaca dan menulis adalah dua kemampuan dasar yang mutlak dimiliki oleh seorang profesional. Sedangkan ilmu-ilmu eksact dan sejenisnya hanya alat bantu yang dipakai sesuai dengan kebutuhan masing-masing bidangnya. Bahkan di Selandia Baru, yang merupakan salah satu sistem pendidikan terbaik di dunia, malahan mewajibakan pelajaran membaca dan menulis sekitar 50 persen dari seluruh jam pelajaran. Sementara negara kita, hanya fokus pada nilai UN yang lebih dari 5,5.

Berdasarkan rangkaian argumentasi sederhana di atas, maka bolehlah kita menarik benang merah sebagai bentuk kesimpulan bahwa dalam menciptakan daya tarik dan keaktifan para pemuda generasi bangsa dalam membaca, dan menulis sastra harus diciptakan iklim kepenulisan dari seluruh pihak. Dengan demikian, akan timbul gairah menulis yang kuat, serta menghadirkan paradigma di dalam diri masing-masing generasi bahwa menulis adalah penting dalam menciptakan peradaban bangsa yang bermartabat.

Ramli Palammai, ...... September 2011
Essay ini pernah dimuat di Media Surat Kabar (Radar Bulukumba)


Silahkan Baca juga Postingan berikut:

1 comments:

Arif Agus Bege'h : 22 Oktober 2011 pukul 04.42 mengatakan...

wah, selamat ya bung, kepengen juga ada tulisanku di muat di media


Silahkan Berkomentar

Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai tema tulisan. Gunakan Name/URL untuk memudahkan saya merespon komentar Anda.

KOMENTAR

TULISAN TERBARU